Mbay_lensatimur.net- Aksi seribu lilin yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dari tiga suku di Nagekeo yakni Rendu, Ndora dan Lambo di Rendu Butowe pada tanggal 02 November 2020 lalu merupakan bagian dari Litani panjang perjuangan mereka dalam mempertahankan eksistensi budaya dan warisan leluhur yang sudah ada sejak dahulu kala.
Semangat dan perjuangan dari masyarakat adat Tiga suku ini menjadi spirit bersama yang terus berkobar dan tak pernah pudar, dalam mempertahankan tanah warisan leluhur agar tidak diperuntukkan bagi pembangunan waduk Lambo yang hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra.
Hal ini dikatakan Willybrodus Bei Ou, Sekretaris Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) di Sekretariat FPPWL Malapoma, Rendu Butowe pada Rabu, 04/11/2020.
Lanjut Willybrodus, Aksi 1000 lilin Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo ini bertepatan dengan peringatan Hari Arwah bagi umat Katolik. Hal ini merupakan bentuk penyerahan diri secara utuh kepada Tuhan Semesta Alam dan para Leluhur agar perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan tanah wilayah adatnya diridoi oleh Yang Maha Kuasa.
Gerakan aksi seribu lilin yang dilakukan oleh Masyarakat Adat tiga suku ini pada hakekatnya memiliki satu tujuan yakni menentang adanya penindasan oleh para penguasa terhadap masyarakat kecil yang ada di Rendu, Ndora serta Lambo akan berbagai bentuk ketidak adilan yang mencederai perasaan hati kaum kecil, yang selama ini berteriak namun tidak pernah didengarkan.
Melalui aksi ini pihaknya meminta kepada Tuhan Maha Adil dan arwah para Leluhur untuk menghakimi penguasa zalim yang serakah yang telah mengambil hak masyarakat adat dengan dalil pembangunan waduk Lambo, ungkap Willybrodus.
Terkait pengukuran tanah yang dilakukan oleh tim gabungan dari Pemda Nagekeo, Willy secara tegas mengatakan bahwa Masyarakat Adat tiga suku yakni Rendu, Ndora dan Lambo tidak akan pernah memberikan ruang sedikitpun kepada tim tersebut untuk melakukan pengukuran tanah di lahan milik mereka. Namun bila ada nama dan lahan yang tercatat dalam dokumen pengukuran tersebut, maka sesungguhnya dokumen itu patut diduga keabsahannya.
Kami sebagai masyarakat yang terkena dampak, tidak ada satu pun yang mengizinkan tanah kami untuk diukur oleh tim BPN Kabupaten Nagekeo. Bila di kemudian hari ada dokumen baru maka itu sesungguhnya adalah manipulasi, terang Willybrodus.
Hal senada juga diungkapkan oleh Raymundus Ngada, tokoh adat Rendu Butowe.
Dia menuturkan bahwa pengukuran tanah yang dilakukan oleh BPN Nagekeo bersama tim beberapa waktu lalu sangat tidak masuk akal, karena masih ada penolakan keras dari masyarakat adat tiga suku yang terkena dampak sampai saat ini.
Apa yang mereka lakukan di lapangan semata–mata adalah kebohongan, karena kami tidak mengizinkan tempat kami untuk diukur.
Setiap kali mereka datang kami hadang sehingga tidak ada aktivitas pengukuran. Namun ketika mereka pulang dan melaporkan kalau datanya telah lengkap maka itu hanya omong kosong saja,” ungkap Raymundus.
Raymundus berharap pemerintah tidak perlu memaksakan masyarakat untuk menerima pembangunan waduk tersebut karena arus penolakan sudah terjadi sejak dulu.
“Dari dulu kami sudah menolak pembangunan waduk itu sehingga kami tidak perlu lagi ada tawar menawar dengan pemerintah soal pembangunan waduk di sini. Cari saja tempat lain yang telah siap menerima pembangunan waduk,” imbuhnya.
Sementara itu Matheus Bhui, yang juga tokoh Masyarakat Adat menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo tidak menolak pembangunan, namun yang ditolak adalah lokasi pembangunan.
Hal ini dikarenakan Keberadaan Lowo Se yang berada tepat di tengah pemukiman warga, yang dekat dengan ladang serta kebun, tempat ritual dan kuburan para Leluhur, dan juga di situ terdapat tempat fasilitas umum lainnya. Untuk itu maka lokasinya dialihkan ke 2 lokasi alternatif yang telah disiapkan masyarakat yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka.
Kami sebagai masyarakat terkena dampak merasa sangat kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak merespon usulan kami, namun tetap berusaha untuk terus membangun waduk di Lowo Se, ini menunjukkan bukti bahwa keberpihakan pemerintah kepada kami masyarakat kecil sangat lemah, tutup Matheus. (LT/Tim)