Mbay_lensatimur.net– Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Nusa Bunga bersama FP3L Masyarakat Adat Ndora mendesak pemerintah untuk hentikan pengukuran tanah adat di Rendu dan Ndora, serta tidak memaksakan masyarakat untuk menerima pengukuran tanah yang dilakukan oleh pihak Badan Pertanahan Nagekeo yang dikawal oleh aparat kepolisian.
Hal ini dikatakan Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga, Philipus Kami saat melakukan kunjungan kerja ke Rendu Butowe pada Juma’t, 23/10/2020.
Philipus mengatakan bahwa berkaitan dengan rencana pembangunan waduk Lambo, hingga saat ini masih terjadi penolakan oleh masyarakat pemilik tanah ulayat yang terkena dampak; sehingga membutuhkan perhatikan serius dari pemerintah untuk bisa mengambil sikap yang tepat terkait persoalan ini.
Lanjut Philipus, ada sekitar 50 lebih KK di Dusun Malapoma dan sebagian besar Masyarakat Adat Ndora tetap menolak lokasi pembangunan waduk yang ada di Lowo Se sehingga mengusulkan lokasi alternatif yang terletakdi Malawaka dan Lowo Pebhu.
Namun sangat disayangkan karena sampai saat ini pemerintah belum juga menerima usulan lokasi alternatif tersebut.
Philipus Kami menambahkan, sudah beberapa hari ini tim pengukuran tanah yang dikawal oleh aparat kepolisian terus melakukan kerja pengukuran bahkan masyarakat dipaksa untuk menerima pembangunan waduk tersebut.
Berdasarkan laporan yang diperoleh dari masyarakat secara langsung maupun pantauan melalui video, aktivis Masyarakat Adat dan Lingkungan menduga ada oknum polisi yang turut memaksa masyarakat untuk menerima pembangunan waduk ini; bahkan ada oknum polisi mengatakan jikalau masyarakat tidak setuju maka laporkan saja ke pihak berwajib.
Hal seperti ini tentu membuat masyarakat kecewa dan mempertanyakan kenetralan oknum kepolisian dalam melayani dan mengayomi masyarakat.
“Tidakmungkin masyarakat yang memiliki hak atas tanah diminta melaporkan oknum anggota polisi yang membuat tindakan penyerobotan ini. Kita benar – benar kecewa dengan sikap oknum anggota polisi seperti ini,” kata Philipus.
Mantan anggota DPRD Ende lebih jauh menjelaskan bahwa masyarakat menolak pembangunan di lokasi Lowo Se karena itu merupakan hak dasar mereka. Karena sesungguhnya hak dasar itu pun telah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 b ayat 2, dan juga dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1950. Pihaknya berharap agar Kapolda dan Kapolres Nagekeo dapat mengingatkan anggota kepolisian yang hadir di Malapoma dan Ndora untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman, serta bisa mengayomi dan juga melindungi masyarakat. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dikarenakan itu adalah hak azasi mereka sebagai pemilik hak alih waris secara turun temurun.
Secara tegas Philipus Kami juga mendesak Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Nagekeo untuk segera membangun komunikasi secara baik dengan tidak memaksa masyarakat untuk menyetujui pembangunan waduk tersebut, karena sejak tahun 2001 sampai hari ini masyarakat adat tetap komit menolak pembangunan waduk yang berada pada lokasi yang sama; sehingga sangat tidak tepat kalau Badan Pertanahan Kabupaten Nagekeo bersama aparat kepolisian diduga melakukan pemaksaan dalam mengukur tanah yang tengah ditolak masyarakat adatnya.
Politisi Demokrat ini pun meminta Bupati Nagekeo untuk merespon perjuangan masyarakat adat Rendu dan Ndora dalam mempertahankan hak – hak hidupnya di atas tanah warisan leluhur dengan memberikan pertolongan dan perlindungan bagi masyarakat adat dilokasi yang terkena dampak.
Masyarakat sesungguhnya bukan menolak pembangunan waduk tetapi menolak lokasi pembangunan waduk yang berlokasi di Lowo Se dengan mengemukakan alasan – alasan yang telah mereka sampaikan,” jelas Philipus.
Sebagai Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga pihaknya menyerukan agar tidak lagi terjadi tekanan maupun intimidasi terhadap masyarakat adat yang sampai saat ini masih menolak pengukuran tanah untuk pembangunan waduk tersebut.
Kita mendorong untuk dihentikan sementara aktivitas pengukuran tanah agar tidak terjadi hal-hal yang kita inginkan bersama sambil berharap ada komunikasi yang baik dengan berbagai stakeholder untuk segera mengakhiri persoalan ini, ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) Willybrodus Ou. Dia menegaskan bahwa masyarakat yang terkena dampak pembangunan waduk Lambo hingga saat ini tetap komitmen untuk menolak lokasi pembangunan di Lowo Se, sehingga tidak mengizinkan lahannya diukur.
Lanjut Willy seharusnya pemerintah sudah lebih paham tentang penolakan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Rendu dan Ndora, karena bukan baru kali ini aksi penolakan itu dilakukan. Jauh sebelumnya sudah ada gelombang penolakan pembangunan waduk ini; dan itu pun sudah diberitahukan kepada pemerintah,” ujarnya. Willy meminta agar pihak BPN Nagekeo dan aparat kepolisian yang hendak melakukan pengukuran tanah agar segera pulang ke Mbay dari pada tetap nekad turun untuk melakukan itu yang sifatnya secara sembunyi–sembunyi, karena bisa saja di lokasi nantinya akan dikejar oleh masyarakat yang tidak mau tanahnya diukur.
Willy pun menegaskan lebih baik berhenti melakukan pengukuran daripada hanya datang ke sini tetapi dihadang masyarakat. Aktivitas kerja kami sebagai petani sangat terganggu karena harus menghadang mereka yang sembarangan menyerobot masuk ukur ke lahan kami, tuturnya.
Willy menegaskan, sampai kapan pun, masyarakat tidak akan mengizinkan lokasinya untuk diukur sehingga tidak ada gunanya mereka datang dan menghabiskan waktu di Rendu. Kami tidak akan mengizinkan siapa pun untuk masuk mengukur wilayah adat kami,” tegas Willy.
Sementara itu Ketua Forum Penolakan Pengadaan dan Pengukuran Tanah (FP3L) Masyarakat Adat Ndora, Siti Aisyah mengungkapkan, beberapa waktu lalu pihaknya sempat menyita peralatan tim pengukuran tanah karena telah melakukan pengukuran tanah di tanah milik warganya.
Siti Aisyah bersama FP3L setiap hari harus berada di lokasi kebun masing – masing untuk menjaga lahannya agar tidak diukur oleh tim pengukur tanah karena bagi FP3L lahan yang telah diukur bisa jadi dipergunakan pemerintah untuk menjadi kekuatan bagi mereka dalam menyetujui pembangunan waduk Lambo. “Sekali tolak kami tetap tolak sampai kapan pun, walaupun nyawa jadi taruhan kami” dalam mempertahankan tanah titipan Leluhur yang telah diwariskan kepada kami, ucap Siti Aisyah.
Aktivis Perempuan Adat ini sangat lantang menyuarakan penolakan karena dirinya tidak rela tanah ulayat dan tempat bersemayam para Leluhurnya digenangi air akibat pembangunan waduk yang tidak punya manfaat apa – apa bagi dirinya dan masyarakat yang terkena dampak. “Justru tanah kami akan bisa tenggelam”. Sungguh kami tidak dapat apa-apa dari pembangunan ini. Malahan yang ada kami sangat dirugikan, sehingga “sekali tolak, tetap kami tolak,” tutup Siti. (LT/Tim)