Jakarta_lensatimur. net – Catatan ringan seorang Politisi Muda asal NTT, Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M. Si yang juga adalah Anggota Komisi IV DPR RI terkait Makna Hari Pangan Sedunia memberikan inspirasi tersendiri bagi segenap elemen bangsa Indonesia dalam hal meningkatkan Ketahanan dan Kedaulatan Pangan. Hal ini dikutip dari release yang ada pada Fan page dari akun resmi Facebook nya Jumat, 16/10/2020.
Dia mengatakan bahwa Setiap tahun, pada tanggal 16 Oktober, Kita memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Peringatan ini bersamaan dengan tanggal lahirnya Food and Agriculture Organization (FAO) oleh PBB. Tanggal ini dipilih untuk menghormati berdirinya FAO.
Intensi utama dari Peringatan Hari Pangan Sedunia adalah membangkitkan kesadaran kolektif dan aksi global untuk mengatasi kelaparan, memastikan akses makanan yang sehat dan sama bagi semua orang, serta memerangi kemiskinan.
Pandemi Covid – 19 menghadirkan masalah dan tantangan baru di sektor pangan. FAO memprediksi akan adanya kerawanan pangan akut pada akhir 2020 di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Diperkirakan 265 juta orang beresiko kelaparan pada 2020, serta 75 juta anak terancam stunting di 50 Negara.
Kemiskinan dan kelaparan akibat pandemi covid-19 harus membangkitkan keprihatinan etis dan solidaritas global.
Penderitaan sama saudara di belahan bumi yang lain adalah air mata dan penderitaan semua orang. Bumi adalah Kita.
Hari pangan mengingatkan bahwa semua manusia adalah bersaudara, sekaligus pangan adalah dasar, sebuah fundamental dari hak asasi manusia. Tidak semata-mata kebutuhan, pangan juga adalah simbol dari sebuah peradaban.
Alexander Nutzenadel, dalam bukunya : Food and Globalization (2008) meringkasnya dalam sebuah kalimat singkat “Kamu adalah apa yang kamu makan”.
Artinya pola produksi, konsumsi, dan distribusi pangan menggambarkan identitas kultural, sosial dan ekonomi sebuah masyarakat juga seseorang.
Begitu pun negara, Pangan adalah Senjata, kunci strategis dan ukuran kemajuan bangsa.
Bila menguasai sektor pangan, maka suatu negara berpotensi menjadi besar. Sebaliknya bila negara sangat bergantung pada pangan negara lain (impor), maka itu awal keruntuhan negara tersebut.
Bung Karno dalam ajaran Trisakti, mengajak Bangsa Indonesia untuk BERDIKARI DALAM BIDANG EKONOMI.
Dalam konteks pangan, kita dapat menerjemahkan ajaran Soekarno untuk mandiri dan berdaulat dalam bidang pangan.
Saya percaya, akses pangan yang cukup, sehat dan adil adalah salah satu indikator utama tercapainya sila kelima Pancasila : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Indonesia adalah negara agraris, yang memiliki potensi lahan dan keanekaragaman pangan tropis yang sangat potensial untuk menjadi lumbung pangan dunia.
Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Sistem Pangan Nasional secara eksplisit menyebutkan kedaulatan dan kemandirian pangan sebagai fondasi / spirit Sistem Pangan Nasional.
Maka momentum Peringatan Hari Pangan Sedunia mengingatkan negara (kita) agar fokus dan orientasi kebijakan di sektor pangan harus (mengarah) pada kedaulatan pangan (Food Sovereignity), bukan lagi sekedar pada ketahanan pangan (Food Security).
Kedaulatan pangan menekankan pentingnya aspek produksi lokal sesuai karakteristik setiap daerah, mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, mengutamakan prinsip diversifikasi pangan, serta menolak subordinasi atau dominasi sistem pangan oleh pasar global. Apalagi Pandemi Covid -19 menyebabkan deglobalisasi pangan. Akibatnya setiap negara eksportir menahan produknya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan pangan.
FAO telah memprediksi, negara yang bergantung pada impor komoditas pangan akan terganggu.
80 juta orang yang hidup di negara impor akan terancam kecukupan pangannya.
Maka Indonesia harus berjuang agar memiliki kedaulatan kemandirian pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Itu artinya tidak bergantung pada impor komoditas dari negara lain. Sayangnya saat ini kita masih mengimpor komoditas dari negara lain.
Menurut BPS, Indonesia mengimpor 10,7 juta ton gandum pada 2019. Nilai impor kita setara dengan 2,8 milyar USD.
Indonesia juga mengimpor gula tahun 2019. Kita mengimpor 4,1 juta ton gula.
Kita juga impor buah-buahan. Di pasar kita temui jeruk Tiongkok, jeruk Pakistan, Apel dan lain-lain. Impor buah-buahan kita pada 2019 adalah sebesar 724 ribu ton. Nilainya 1,49 milyar USD.
Baru – baru Indonesia mengimpor bawang putih sekitar 76,4 juta USD selama Mei 2020. Perlu diketahui 95 persen kebutuhan bawang putih di Indonesia dipasok dari impor.
Sampai kapan kita berhenti mengimpor? Kita harus mulai dari sekarang.
Momentum Pandemi Covid – 19 harus menjadi titik picu (trigger) untuk meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri.
Sebagai contoh konkret dari perwujudan kedaulatan pangan, saya sering mendesak Kementerian Pertanian untuk menggalakkan substitusi impor.
Satu contoh konkret, saat reses di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) saya menemukan potensi bawang putih di daerah tersebut.
Saya bahkan menunjukkan langsung bawang putih yang dikembangkan di TTS dalam rapat dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Artinya, pengembangan tanaman substitusi impor sangat bisa dilakukan.
Bawang putih dari TTS tidak kalah kualitasnya dengan bawang putih impor untuk menekan 95 persen ketergantungan pada impor dari China.
Pulau Timor, Nusa Cendana juga pernah berjaya dengan jeruk Keprok Soe dan apel pada dekade 1980 – 1990-an hingga diekspor keluar negeri.
Apalagi potensi jeruk Keprok Soe telah dinyatakan sebagai varietas berkarakter impor oleh Kementerian Pertanian saat rapat dengan Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo beberapa waktu lalu.
Bawang putih maupun jeruk Keprok Soe menjadi contoh nyata bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk berdikari dalam pangan.
Saya berharap, Semerbak bawang putih dan jeruk keprok Soe harus berjaya lagi. Bila perlu suatu saat giliran NTT mengekspor bawang putih, jeruk serta berbagai komoditas pangan lainnya.
Selain substitusi impor, kedaulatan pangan akan tercapai jika ada perwilayahan komoditas (Clustering) dan diverifikasi pangan.
Lembaga riset perlu mendukung upaya ini dengan menghadirkan benih berkualitas sesuai karakteristik daerah.
Diversifikasi pangan lokal dapat dilakukan dengan mengajak petani tanam ubi, jagung maupun sorgum. Rice Oriented harus dihilangkan.
Penyeragaman benih harus ditolak karena setiap daerah memiliki karakter lokal tersendiri.
Tanaman jagung misalnya, dengan mengembangkan varietas jagung yang tumbuh di Pulau Timor seperti : jagung hibrida, lamuru, bisma, srikandi kuning, srikandi putih, dan varietas lokal piet kuning.
Akhirnya Ansy Lema menyampaikan selamat memperingati Hari Pangan Sedunia. Mari bersatu, berjuang, dan bergerak mencapai kedaulatan pangan. Pangan Berdaulat, Negara Kuat. (LT/Tim)