Cerpen
Borong_lensatimur.net –
Debora….
Lautan kau lihat tiada batas sayang…
Kau bertanya siapa
Dia yang telah hilang sayang???
Jangan menunggu!!! dia tak pulang
*
Gadis kecil berambut ikal itu berlari dengan segera manakala ombak yang meski tak seberapa namun mengerikan itu datang menghantam kakinya. Wanita yang menunggunya di jarak lima kaki itu melebarkan tangannya membiarkan gadis kecil itu benam di sana. Pada detak jantung yang dikenalnya bahkan ketika masih segumpal darah di dalam sana . Pada luka hati yang disembunyikannya dalam dan dalam diam.
Wanita itu bernama Fransisca dan gadis kecil itu bernama Debora. Keduanya adalah luka sekaligus obat untuk satu sama lain.
Fransisca lalu mengacak – acak rambut Debora , gadis kecil itu kini sudah bertambah tinggi. Sudah mencapai pusarnya. Tahun depan Debora akan masuk sekolah. Dia harus semakin giat mengumpulkan uang. Dia harus tetap kuat , lebih dari hantaman ombak yang menyapu kaki Debora.
Bunyi mesin dari perahu motor para nelayan, teriakan anak – anak nelayan yang setengah telanjang bahkan ada yang memang sungguh telanjang membuat Debora tersenyum, sedang kakinya menendang pasir yang dekat dengan ujung depan sepatu miliknya. Semua tak luput dari tatapan Sisca. Begitu nama kecil dari wanita yang menjadi karang untuk hidup mereka berdua kini, Dirinya dan Debora.
**
Diingatnya dengan baik hari itu , di Desember yang masih kental dengan hujan. Di dalam kamar petak itu , ada tiga orang anak manusia namun dua dari mereka sedang bergelut dengan amarah, nampak memerah wajah mereka mungkin karena menahan panas di dada. Tidak ada cinta pada bola mata mereka yang konon kabarnya adalah cermin hati.
“ Bila keluargamu mengharuskan kita untuk segera menikah, aku tidak bisa. Aku belum punya uang .” tentulah sang lelaki yang bicara demikian.
“ Johan, kita hanya perlu sakramen. Bukan pesta pora . Kita sudah seringkali bicarakan ini bukan?” ucap wanita dengan lembut, mengharapkan hati sang lelaki yang dipanggilnya Johan itu akan luluh.
“ Aku tetap tidak bisa. Aku belum siap .” Johan ternyata bicara dengan teriak. Di hari itu, di malam yang setengah renta atau malah memang telah renta , entah bagaimana, Johan hilang meninggalkan tanggung jawab yang belum seberapa . Sisca kalang kabut, bertanya pada yang paling bisa menjawab sampai yang paling tidak mungkin, dia mencari kepergian yang tak pulang, kehilangan yang menoreh lukanya begitu dalam.
Setengah tahun usia Debora kala itu . Beban hidupnya pernah membuatnya berada di suatu persimpangan , meneruskan dia dan Debora atau malah mengakhiri mereka. Namun ternyata dia bukan Johan. Dia bukan pecundang.
Jejak Johan tak terlihat. Bahkan angin tak sedikitpun mencuri bau tubuhnya. Dalam waktu Debora tumbuh menjadi anak yang riang. Hal itulah yang disyukurinya tiada henti. Wanita separuh baya itu bernazar, bahwa dirinya bersama buah hati tercinta (Debora) harus bahagia.
Di awal Februari 1998 , usia Debora sudah dua tahun kala itu. Sisca memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di kota. Rumah neneknya di dekat Musholla kecil yang memunggungi pantai menjadi tempat tujuannya. Neneknya hanya memiliki satu anak, yaitu ibu Debora. Ibunya berusia dua puluh tahun ketika menikah dengan ayah Debora. Ayahnya seorang guru sekolah dasar. Orang tua dan neneknya tinggal di kabupaten yang berbeda.
Sejak kabar Johan pergi, Sisca seolah dibuang begitu jauh dari kehidupan orang tuanya. Bahkan adik bungsu yang paling manis dan dekat dengannya, hampir tak pernah lagi bicara dengannya di telepon.
“Jangan pulang dulu, bapakmu sedang sakit “ kata ibunya ketika Sisca menelepon. Mungkin sebenarnya ibunya hendak bilang “ jangan pulang dan menambah beban bagi kehidupan kami di sini”. Sisca mengerti tentang itu dan baginya hidup yang dijalaninya adalah miliknya. Tak mau lagi dia menambah beban kepada kedua orang tuanya.
Sejak kecil Sisca menyukai pantai. Pantai itu juga yang bisa dia perlihatkan kepada Debora akan sesuatu yang indah dan menyejukkan. Pantai ibarat tempat untuk mengadu setiap duka lara hidup yang dirasakan, dan di pantai pula hati yang gunda gulana bisa terobati. Jeritan hati Sisca menghilang bersama teriakannya yang disampaikan kepada karang yang menjulang dan dibiarkan semuanya pecah bersama ombak di bibir pantai. Dalam kerapuhannya dia berdiri tegar karena Debora masih menggenggam seluruh hatinya.
Keduanya duduk di atas sebatang kayu bakau. Hampir ribuan kali Sisca menatap Debora yang begitu dekat dengannya. Sisca merasakan lukanya dalam diam hingga matanya berbinar dan air mata mulai membasahi pelupuk matanya. “ Johan, sampai hati kau tinggalkan aku dan putri kita!” makinya.
Matahari berlahan turun. Sisca dan Debora – masih di sana.
“Bu, di manakah batas lautan ini?” tanya Debora sambil memalingkan mukanya dari arah lautan lalu menatap ibunya yang ternyata juga sedang memperhatikannya. Sisca tidak siap kala diberikan pertanyaan serupa itu. Mengapa bertanya seperti itu, Debora? Katanya membatin. Namun setiap pertanyaannya harus selalu punya jawaban, sebab bila tidak pertanyaan yang sama akan tetap ada.
“ Ya.. apa sayang ?” tanya Sisca seringan mungkin. Memastikan sekali lagi sungguhkah Debora bertanya apa yang baru didengarnya, sambil menyiapkan jawaban untuk pertanyaan yang mungkin berisi kejutan itu. Debora selalu begitu.
“ Di mana batas lautan ini, bu ? “ Debora bertanya. Mendesak.
“ Lautan tidak punya batas, sayang “, Sisca mengulangi jawaban Johan kepadanya dulu.
“ Benar, bu. Mungkin karena itu juga makanya bapak pergi dan tak pulang; “ kata Debora menunduk menengok rindu di hatinya. Sisca menggigit bibirnya. Lukanya kian lebar.
“ Debora, tidak semua pergi harus pulang, sayang” . – Ada yang memang bukan untuk kita – lanjut Sisca dalam hati.
“ Ayo sayang!!!. Sudah sore. Mari kita pulang. Nenek sudah menunggu kita di rumah. Ibu akan memasak ikan kuah asam kesukaanmu. “ Sisca menggenggam tangan Debora , membantunya berdiri , tanpa mereka sadari mereka menggenggam dengan erat tangan satu sama lain. Membagi kekuatan yang mungkin tak seberapa yang mereka miliki.
Malam ketika Debora ttidur lelap, gelap datang kian pekat. Sisca menulis ini, untuk dirinya juga Debora.
“ Bu, di mana batas lautan ini ? “
Lautan tak punya batas, sayang.
“ Itukah sebabnya bapak pergi dan tak pulang?”
Tidak semua pergi untuk pulang , sayang.
Ditulisnya lagi
“ Debora
Laut tenang itu kau, sayang
Kau bertanya siapa
Dia telah hilang
Namun sepanjang hidup pun matiku
Aku tetap pulang
Meski harus aku bangun dari tidurku di alam baka”
April 2020
Suatu senja , di tepi pantai yang sama. Debora menggenggam tangan wanita yang mulai renta itu. Di Desember, ketika malam meminta tugasnya pada langit.
“ Bu, di mana batas lautan ini ? “
Ia tak punya batas , sayang.
“ Mungkinkah karena itu aku pergi tapi pulang ? Atau sebab kau adalah rumahku? “ jatuh airmata Debora.
Kau adalah pulang yang tak pergi , sayang.
Debora datang membawa pulang novel kelimanya. Judulnya “ Wanita dari Tuhan “ .
Diberikannya untuk wanita dari Tuhan yang kini ada di sebelahnya.
Ombak datang , perahu pulang , namun mereka masih berdua.
Penulis : Rellys Sarong