Mbay_lensatimur.net- profesi menjadi Petani, dewasa ini menjadi semakin diminati oleh berbagai kalangan karena memiliki potensi yang besar dan menguntungkan. Pekerjaan sebagai petani memang awalnya jarang dilirik oleh banyak pemuda dan bukan dijadikan sebagai profesi tetapi karena takdir saja menjadi petani.
Hal ini justru tidak berlaku bagi sekelompok pemuda di Desa Toto Mala, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Provinsi NTT. Mereka justru menjadikan petani sebagai profesi yang benar-benar menjanjikan dan menguntungkan, Demikian ungkap Kasianus Sebho kepada Media ini jumat, 30/10/2020
Para pemuda di Nagekeo ini berkumpul, lalu mendirikan kelompok tani. Ada dua kelompok tani yang berhasil dibangun oleh para pemuda ini yakni kelompok tani Ngusa Ngema dan Kelompok Tani Binaan CV. Sa’o Agro.
Kelompok Tani Ngusa ngema memiliki lahan seluas 3 Hektar di wilayah Nanga dhungu, dan kelompok Binaan yang di kelola oleh CV. Sa’o Agro memiliki lahan seluas 2,5 Hektar.
Kedua kelompok ini berhasil mengubah lahan kering yang dulunya hutan gebang dan asam menjadi lahan produktif, di mana tempat tersebut telah dilakukan pengembangan tanaman hortikultura seperti tanaman cabai rawit, cabai kriting, tomat, sayur kol, terung serta buah-buahan jenis melon.
Desa Toto Mala, Kecamatan Wolowae, yang berada di sebelah timur kota Mbay adalah kampung kelahiran Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do. Di kawasan ini, sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Mereka biasanya memanfaatkan musim penghujan sebagai waktu yang tepat untuk bercocok tanam.
Biasanya di saat musim kemarau, tanah dibiarkan mengering, dan biarkan begitu saja. Namun di tangan Kelompok tani Ngusa ngema di Nanga dhungu, serta kelompok Pemuda yang didampingi CV. Sa’o Agro. Mereka telah berhasil merubah lahan kering menjadi lahan bermanfaat dengan menanam cabai Rawit. Mereka juga menfaatkan instalasi irigasi tetes dengan menggunakan sumur bor yang mereka sewakan.
Manajer CV. Sao Agro, Kasianus Sebho, kepada, mengatakan bahwa di atas lahan seluas 2,5 ha ini telah dilakukan pengembangan tanaman hortikultura masing-masingnya, tanaman cabai rawit, cabai kriting, tomat, sayur kol, terung serta buah-buahan jenis melon.
Lanjut Kasianus, dengan adanya pengembangan beberapa jenis tanaman di atas lahan 2,5 ha tersebut, menjadikan ciri khas dari desa tersebut ke depannya. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan perekonomian warga dengan memanfaatkan lahan kosong atau pekarangan.
Kasianus pun menjelaskan bahwa untuk saat ini tanaman hortikultura yang ditanam di atas lahan 2,5 ha tersebut telah panen sebanyak 3 kali. Untuk cabai keriting dan cabai rawit serta tomat telah banyak dipasarkan di daerah tetangga dan juga di Pasar Danga, sedangkan sayuran seperti kol, terung dan buah melon dalam pengembangan, ungkapnya.
Kasianus menegaskan bahwa Kabupaten Nagekeo memang sudah dikenal dengan daerah lumbung beras, namun tidak semua tempat itu dikelola menjadi lahan sawah, sehingga alangkah lebih baiknya jika lahan yang kosong tersebut ditanami dengan berbagai jenis tanaman holtikultura. Menurutnya pembudidayaan tanaman hortikultura tidak membutuhkan tanah yang terlalu luas dan bibitnya pun bisa dijangka. Hal ini tidak terlalu sulit bagi para petani dan hasilnya pun tidak kalah dengan tanaman jenis pertanian lainnya.
Tanaman hortikultura ini, tentunya membutuhkan pasokan air yang banyak, oleh karena itu kami menggunakan instalasi irigasi tetes dan juga membangun sumur bor sehingga pasokan airnya bisa mencukupi dan tidak kekurangan, paparnya.
Kasianus berharap agar dengan adanya contoh pengembangan tanaman hortikultura ini, dapat membantu para kaula muda di desa Watuapi bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan cara seperti ini.
Hal senada juga disampaikan Ketua Kelompok Ngusa ngema, Kim Seke. Kim seke mengatakan, Desa Toto Mala memiliki potensi besar di bidang pertanian, namun kebanyakan para petani yang ada di desa ini cuma andalkan tanaman jagung, padi ladang dan ternak. Jagung dan padi ladang hanya bisa dipanen setahun sekali.
Kim Seke pun berkisah bahwa sejak dirinya memutuskan untuk bertani dengan sistem holtikultura, dirinya telah banyak menuai hasil dari pekerjanya tersebut. Awalnya saya hanya mencoba saja, tetapi yang terjadi justru di luar dugaan, karena mampu meraup pundi-pundi rupiah yang sangat banyak. Dampak dari kegiatan ini, saya berhasil membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Dari kegiatan pertanian ini lanjut Kim Seke, daerahnya pun menjadi terkenal sebagai daerah penghasil cabai. Berkat usahanya dalam melihat dan memanfaatkan peluang ini, cabai rawit milik kelompoknya menjadi sangat laris di pasaran.
Untuk menjadi petani cabai memang susah-susah gampang. Itu semua membutuhkan ketekunan, kesabaran dan kerja keras sehingga bisa menikmati hasil yang memuaskan.
Usaha cabai yang dijalani oleh Kim saat ini menjadi usaha yang sangat maju dan berkembang. Untuk itu dia pun memberikan nama cabai dari kampungnya itu dengan nama “Koyo Toto” yang saat ini sedang berjalan di pasar,” tutupnya. (LT/Tim)