Ende_lensatimur.net – Pagi itu, Senin, 07/11/2022 Wartawan media ini coba menyusuri keramaian kota menuju sisi selatan kota yakni Ipi di Kelurahan Tetandara Kecamatan Ende Selatan, persis di bawah kaki gunung meja. Nampak langit kota Ende sangat cerah. Aktivitas kehidupan kota pun sangat ramai, namun di tengah ramainya kehidupan kota, ada sebuah pemandangan yang miris.
Seorang wanita tua bernama Monika Mbasi yang berusia 52 tahun harus rela bertahan hidup di sebuah kamar kost sederhana bersama sang suami yang menderita tuna netra dan rungu serta putra semata wayangnya.
Hidup bersama sang suami yang menderita cacat fisik membuat Mama Monika harus rela berjuang keras menjadi tulang punggung keluarga untuk menafkahi suami dan anaknya.
Menjadi Mama lele yang menjajalkan sayur dari lorong ke lorong di Kota Ende, walaupun di bawah teriknya panas matahari serta deraian air hujan, tidak menyurutkan semangat Mama Monika untuk terus berkerja demi suami dan anaknya.
“Walau hanya mendapatkan untung Rp. 25.000 dari hasil penjualan sayur, Mama Monika tetap bersyukur, karena itu semuanya rejeki yang Tuhan berikan,” ujarnya.
Hidup memang terasa pahit, di kala suami yang seharusnya menjadi tulung punggung keluarga, tidak bisa berdaya apa – apa; karena kondisi kesehatan yang menderanya yakni tidak bisa melihat dan tidak bisa mendengar.
Sang suami Hendrikus Uli yang kini berusia 60 tahun, hanya bisa duduk dan berbaring di sebuah kasur tua tanpa bisa berbuat apa-apa karena kondisi kesehatan yang ia alami selama 4 tahun lalu, di mana matanya tidak bisa berfungsi lagi untuk melihat dan telinga tidak bisa mendengar secara normal.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi, sang buah hati Pius Mapa berusia 14 tahun yang seharusnya menikmati pendidikan di SMP, terpaksa putus sekolah demi membantu ibunya untuk menjual sayur dan memperhatikan sang ayah yang menderita cacat fisik.
Saat bercerita dengan wartawan Media ini, bibir Mama Monika bergetar, matanya sembab berlinang air mata, karena beratnya tanggungan hidup yang ia harus pikul.
Pendapatan menjual sayur yang tidak menentu, kadang laku kadang tidak membuat hidupnya kian sulit. Dengan hasil laba penjualan sayur yang hanya Rp. 25.000, Mama Monika harus bijak untuk mengelolanya yakni membeli beras dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
“Untuk membayar Kost atau kontrakan rasa – rasanya teramat sulit Pa, karena untuk belanja makan saja susah,” ucapnya.
Dia menceritakan bahwa sebelum mereka pindah ke Ipi, dirinya bersama keluarga pernah tinggal di jalan baru lorong 46 Ende. Namun karena tidak mampu membayar kost yang terlalu mahal, kemudian Mama Monika memilih untuk mencari kost yang lebih murah, mengingat pendapatannya yang tidak menentu.
Selama berada di jalan baru, pihaknya tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari Pemerintah setempat.
“Dengan nada terbata – bata, dirinya berharap kiranya ada perhatian dari Pemerintah maupun orang yang berbaik hati untuk meringankan beban hidup yang kami alami,” Pintanya.
Mama Monika menuturkan bahwa sebelumnya dia bersama suami kerja di Kalimantan. Akibat dirinya mengalami kecelakaan kerja serta kondisi suaminya yang cacat, maka ia putuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Ende.
Mama Monika menceritakan bahwa setelah mengalami kecelakaan, dokter menganjurkan dirinya untuk tidak memikul beban yang terlalu berat, dan berlama lama di bawah teriknya matahari.
Untuk itulah maka Mama Monika tidak kembali pulang ke kampung halamannya di Watuneso dan memilih bertahan hidup di kota dengan apa adanya yang ia bisa kerjakan.
Penulis : Efrid Bata
Editor : Elthon Rete